• Jelajahi

    Copyright © Narasi Riau
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Menilik Kebijakan Fiskal Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Oleh Yudhia Perdana Sikumbang Mahasiswa ilmu Hukum Kedoktoran Universitas Negeri Jambi

    , September 15, 2023 WIB Last Updated 2023-09-15T05:08:31Z

    NARASIRIAU.COM - Menilik Kebijakan Fiskal pasca lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 Oleh Yudhia Perdana Sikumbang, Mahasiswa ilmu Hukum Kedoktoran Universitas Negeri Jambi.


    Diketahui pada tanggal 5 januari tahun 2022 yang lalu menteri hukum dan ham Yasonna laoly mengundangkan undang-undang terbaru yaitu undang-undang nomor 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.


    "Dimana sebelumnya diketahui Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah perlu disesuaikan dan disempurnakan sesuai dengan perkembangan keadaan dan pelaksanaan desentralisasi fiscal, sehingga perlu diganti, yang kemudian menarik didalam penggantian undang-undang tersebut hal yang prinsip diatur yaitu tentang pajak dan retribusi dimana sebelumnya diketahui diatur dengan Undang-undang berbeda dimana pajak dan retribusi itu diatur didalam undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah," ujarnya


    Menurut penulis penggantian undang-undang ini lebih kepada penggabungan lebih dari satu undang-undang yang mana sebelumnya terpisah sekarang regulasinya digabung menggunakan metode omnibuslaw.


    "Secara prinsip merupakan penyederhanaan regulasi, hal ini cukup menarik dimana didalam satu undang- undang diatur beberapa regulasi. Bertujuan agar nomenklaturnya yang sebelumnya berbeda-beda menjadi sama dan seirama tentunya harus harmonis. dalam artian tidak bertentangan satu sama lain," ujarnya 


    Ada beberapa yang menjadi sorotan penulis didalam terbitnya undang-undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah ini jika melihat didalam penjelasan undang-undang tersebut dimana terdapat empat pilar yang menjadi sorotan


    Pilar pertama, meminimalisir ketimpangan vertikal antara jenjang pemerintahan baik pusat, provinsi, kabupaten, dan kota, serta ketimpangan horizontal antar pemerintah daerah pada level yang sama. Untuk itulah terdapat beberapa perbaikan dalam kebijakan khususnya terkait Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) untuk meminimumkan ketimpangan tersebut, yaitu dengan melakukan reformulasi DAU dengan presisi ukuran kebutuhan yang lebih tinggi di mana DAU untuk masing- masing daerah dialokasikan berdasarkan Celah Fiskal tidak lagi menambah formula Alokasi Dasar.


    "Yang mana selanjutnya, DAK yang lebih difokuskan untuk prioritas nasional sehingga DAK reguler dilebur dalam formulasi DAU. Pengelolaan Transfer ke daerah yang berbasis kinerja di mana pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal bagi pemerintah daerah sebagai apresiasi kepada daerah yang memiliki kinerja baik dalam memberikan layanan publik dengan kriteria tertentu," ujarnya


    Selain itu adanya perluasan skema pembiayaan daerah secara terkendali dan hati-hati, di mana saat ini sudah bisa menggunakan skema Sukuk Daerah yang sebelumnya hanya pinjaman daerah dan obligasi daerah. Selanjutnya sinergi pendanaan lintas sumber pendanaan yang ada berupa sinergi pendanaan APBD dan Non-APBD seperti Belanja K/L, BUMN/D, Swasta, dan Kerja Sama dengan Pemerintah Daerah lain.


    Pilar kedua yaitu mengembangkan sistem pajak daerah dengan mendukung alokasi sumber daya nasional yang lebih efisien. 


    Kebijakan yang dirumuskan dalam menguatkan sistem perpajakan daerah yaitu melalui harmonisasi pengaturan dengan tetap memberikan dukungan terhadap dunia usaha, mengurangi retribusi atas layanan wajib yang sudah seharusnya menjadi kewajiban pemerintah daerah dengan melakukan rasionalisasi retribusi dari 32 menjadi 18 layanan, menciptakan basis pajak baru melalui sinergi pajak pusat dengan pajak daerah berupa konsumsi, properti, dan sumber daya alam. 


    Selain itu adanya opsen perpajakan daerah antara Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai penggantian skema bagi hasil dan penyesuaian kewenangan berupa opsen pajak kendaraan bermotor, opsen bea balik nama kendaraan bermotor, dan pajak mineral bukan logam dan batuan. opsen beberapa 3 jenis pajak daerah tersebut tidak akan menambah beban bagi wajib pajak tetapi split langsung pembayaran wajib pajak ke rekening kas umum daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.


    Pilar ketiga yaitu mendorong peningkatan kualitas belanja di daerah karena belanja daerah didanai dari uang rakyat, baik berupa pajak daerah maupun transfer dari pemerintah pusat oleh sebab itu, menjadi sebuah keharusan untuk bisa memberikan dampak yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. 


    Untuk meningkatkan kualitas belanja daerah tersebut, dalam undang-undang ini diarahkan untuk penguatan disiplin penganggaran dan sinergi belanja daerah, pengelolaan TKDD berbasis kinerja dan TKDD diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik. 


    Lebih lanjut dikatakan pengaturan belanja daerah yang diatur dalam undang-undang ini antara lain batasan belanja pegawai maksimal 30 persen, batasan belanja infrastruktur layanan publik minimal 40 persen selain kewajiban pemenuhan belanja wajib yang lain sesuai dengan amanat pengaturan perundang- undangan. 


    Berdasarkan data di DJPK, saat ini belanja APBD didominasi oleh belanja pegawai dengan rata-rata mencapai 32,4 %, bahkan untuk beberapa daerah ada yang mencapai sekitar 50 %, sedangkan untuk besaran belanja infrastruktur sangat rendah, baru mencapai 11,5 % pemenuhan baik belanja pegawai belanja infrastruktur tersebut tidak dilakukan sekaligus namun dilakukan bertahap selama 5 tahun dan 3 tahun.


    Pilar keempat yaitu harmonisasi belanja pusat dan daerah, agar menyelenggarakan pelayanan publik yang optimal sekaligus tetap menjaga kesinambungan fiskal. 


    Dalam RUU HKPD dirumuskan desain transfer ke daerah yang dapat berfungsi sebagai counter cyclical policy, penyelarasan kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, pengendalian defisit APBD, dan refocusing APBD dalam kondisi tertentu. Selain itu juga perlunya sinergi Bagan Akun Standar (BAS) sehingga dapat dilakukan penyelarasan program, kegiatan, dan output.


    "Kesemua ini merupakan arah pembentukan undang-undang nomor 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, jadi politik hukum dalam pembentukan undang-undang nomor 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara Pemerintah pusat dan pemerintahan daerah ini menggunakan metode omnibuslaw dimana menggabungkan beberapa regulasi untuk diatur didalam satu produk undang-undang, Hal tersebut sebagai sarana penyederhanaan regulasi serta mengarahkan kebijakan fiscal yang efisien adil, selaras dan akuntabel," tutupnya.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini


     


     

    Olahraga

    +